4 Maret 2013
Jalan Sufi
“Jangan bertanya, Jangan memuja
nabi dan wali-wali, Jangan mengaku
Tuhan, Jangan mengira tidak ada
padahal ada, Sebaiknya diam,
Jangan sampai digoncang oleh
kebingungan …”
Kenapa kita disarankan oleh Sunan
Bonang untuk diam khususnya saat
membicarakan soal-soal
makrifatullah sebagaimana yang
tertera dalam suluk Jebeng? Sebab,
daripada sesat karena bila belum
mengalami sendiri keadaan makrifat,
maka yang biasa terjadi adalah
saling beradu argumentasi untuk
nggolek benere dhewe, nggolek
menange dhewe padahal
kasunyatannya tidak seperti yang
digambarkan masing-masing
orang …
Maka, kita diminta untuk diam dan
suatu saat semoga kita mampu
untuk menyaksikan sendiri dan
membuat kesaksian terhadap
eksistensi-Nya yang maha tidak
terhingga atau diistilahkan oleh
Sunan Bonang sebagai SYAHADAT
DACIM QACIM. Syahadat ini adalah
pemberian Tuhan kepada seseorang
yang diistimewakannya sehingga ia
mampu menyaksikan dirinya
bersatu dengan kehendak Tuhan.
Marilah kita mencebur lebih dalam
hal ini ….
Agama dari langit sudah sangat
lengkap memadukan aspek lahiriah
(syariat/aturan/hukum/fiqih yang
mengikat tubuhnya) dan juga aspek
perjalanan batin manusia menuju
kebersatuan dengan Tuhan Semesta
Alam. Memahami dari aspek lahir
saja, tidak akan mampu
memberikan kedalaman
pengalaman batin manusia.
Sebaliknya, agama yang dipahami
dari sisi batin saja, biasanya
cenderung mengabaikan aturan dan
hukum kemasyarakatan sehingga
bisa jadi dianggap sesat oleh
masyarakat.
Yang ideal memang memahami
agama sebagai jalan yang lapang
menuju Tuhan secara sempurna
dengan tidak mengabaikan salah
satu aspek, apakah itu aspek lahir
maupun aspek batin. Bila aspek lahir
dipelajari dalam disiplin ilmu syariat/
fiqih/hukum serta ilmu logika/
mantiq dan lainnya. Maka aspek
batiniah digeluti dengan pendekatan
ilmu tasawuf. Bila kita belajar ilmu
tasawuf, maka tidak bisa tidak kita
akan mempelajari sejarah tasawuf
dari masa ke masa, riwayat hidup
para sufi dan istilah-istilah ruhaniah
manusia.
Tidak mudah untuk belajar tasawuf.
Berbeda dengan belajar syariat/fiqih/
hukum maupun filsafat yang
dasarnya adalah olah pikir atau
logika, maka tasawuf dasarnya
adalah olah rasa untuk menyelami
sesuatu yang metafisis dan abstrak.
Kita tidak mampu menggali
kedalaman samudera tasawuf jika
tidak menyelami sendiri dimensi-
dimensi batiniah manusia.
Tasawuf bukanlah ilmu yang
teoritis, melainkan praktek (ngelmu)
… . Bisa dengan dzikir sejuta kali di
mulut, bisa juga dengan dzikir
semilyar kali di batin siang malam
tanpa henti …. Ini tidak lain untuk
menghancurkan kerak-kerak hati
yang lalai dan kemudian digelontor
dengan puji-pujian kepada-Nya dan
seterusnya …. Ini hanya satu latihan
ruhani yang harus dilakoni pejalan
mistik saja, substansinya justru
bukan dzikir atau mengingat-Nya
saja. Melainkan bagaimana setelah
mengingat-Nya, dan mendapatkan
kesaksian akan kebenaran absolut-
Nya, seseorang itu kemudian
mampu berbuat sesuatu sesuai
dengan iradat-Nya!!!
Dimensi batiniah manusia bisa
diketahui dari bagaimana seseorang
itu menempuh jalan spiritual yang
melewati melalui berbagai tahapan
(maqom). Dalam setiap tahapan,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar