Taman Wisata Majapahit di Wilayah Malang dan sekitarnya, dimulai
dengan cerita tentang Candi Singhasari, atau Candi Singasari, atau
Candi Singosari. Candi itu menyimpan banyak arti. Dibangun sebagai
persembahan kepada Kertanegara, Raja Singasari terakhir. Juga untuk
mengekspresikan kerukunan antara umat Hindu dan Buddha saat itu.
Kerajaan Singasari adalah tonggak Kerajaan Majapahit, sekaligus cikal
bakal dimulai kisah sejarah Nusantara atau Indonesia saat ini.
CANDI SINGOSARI berlokasi
di Desa Candi renggo, Kec. Singosari, Kab. Malang (sekitar 10 km di
utara Kota Malang). Candi tersebut berada di lembah di antara Pegunungan
Tengger dan Gunung Aljuna di ketinggian 512 m di atas permukaan laut.
Kota Singasari diyakini sebagai ibukota Kerajaan Singasari (1222-1292).
Candi
ini ditemukan pada sekitar awal abad ke-18 (tahun 1800-1850), dengan
pemberian nama atau sebutan Candi Menara oleh orang Belanda. Mungkin ini
bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella
oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat
buah celah pada dindingdinidng dibagian tubuhnya. Menurut laporan W. Van
Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856, penduduk setempat
menamakan Candi Cungkup. Akhimya nama yang hingga sekarang dipakai
adalah Candi Singosari karena letaknya di Kota Kecamatan Singosari.
Namun
adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya
di Desa Candirenggo. Menurut laporan tertulis dari para pengunjung Candi
Singosari dari tahun 1803 sampai 1939, dikatakan bahwa Candi Singosari
merupakan kompleks pereandian yang luas. Didalam kompleks tersebut
didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak area
berserakan disana-sini. Salah satu dari tujuh eandi yang dapat
diselematkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang disebut Candi
Singasari. Adapun area arcanya banyak yang dibawa ke Belanda. Sedangkan
area-area yang saat ini di halaman kompleks Candi Singosari sekarang
ini, be~al dari candi-candi yang sudah musnah itu.
Dari Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah
Mada bertahun 1351 M di halaman kompleks candi diketahui, bahwa
candi merupakan tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Sang
Kertanegara. Ia tewas pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara
Gelang-gelang yang dipimpin Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak
pemah selesai dibangun.
Cara pembuatan Candi Singasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit (batu
kali) hingga ketinggian tertentu. Selanjutnya diteruskan dengan
mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah
seperti saat ini). CandiSingasari baru mendapat perhatian pemerintah
kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan.
Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang
dieapai pada tahun 1936.
Candi Besar
Kompleks pereandian menempati areal 200 mx 400 m dan terdiri dari
beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang Area
Dwarapala (raksasa besar) dengan tinggi hampir 4 meter dan posisi Gada
menghadap ke bawah. Ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi
masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk dan ungkapan selamat
datang bagi semuanya. Posisi area ini hanya ada di Candi Singasari,
tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Di dekatnyaArea Dwarapala
terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan
bahwa eandi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak eandi
Singhasari yang dekat dengan kedua area Dwarapala menjadi menarik ketika
dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam
di puncak Kailasa dalam wujud lingga.
Batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai
penjaganya, gerbang Barat dijaga Kala dan Amungkala, gerbang Selatan
dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori . Karena
letak Candi Singasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang
terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini
diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para
pertapa yang bersemayam di puneak gunung ini pada waktu itu. Bangunan
eandi utarna dibuat dari batu andes it, menghadap ke barat, berdiri pada
alas bujursangkar berukuran 14 m x 14 m dan tinggi eandi 15 m. Candi
ini kaya akan omamen ukiran, area, dan relief. Di dalam ruang Utarna
terdapat lingga dan yoni.
Bentuk bangunan Candi Singosari sendiri bisa dibilang istimewa,
karena candi itu seolah-olah mempunyai dua tingkatan. Seharusnya
bilik-bilik candi berada pada bagian badan candi, pada Candi Singosari
justru terdapat pada kaki candi. Bilik-bilik tersebut pada awalnya juga
terdapat area didalamnya yakni disebelah utara berisi area
Durgamahisasuramardhini, sebelah timur berisi arca Ganesha dan dibagian
selatan terdapat arca Resi Guru yang biasa terkenal dengan sebutan Resi
Agastya. Namun saat ini hanya tinggal arca Resi Agastya saja, sedangkan
arca lainnya telah dibawa ke Leiden, Belanda.
Alasan mengapa area resi Agas dibawa serta ke Belanda adalah,
dikarenakan kondisinya yang rusak cukup parah, hingga tidak layak dibawa
sebagai hadiah kepada penguasa negeri Belanda pada saat itu.
Belum Selesai
Hal lain yang menarik untuk diamati pada Candi Singosari ini adalah
hiasan candi. Umumnya bangunan candi dihias dengan hiasan yang rata pada
seluruh badan atau bagian candi. Pada Candi Singosari hiasan tidak
seluruhnya diselesaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa candi
itu dulu belum selesai dikerjakan tapi kemudian ditinggalkan.
Sebab-sebab ditinggalkan tersebut dihubungkan dengan dengan adanya
peperangan, yaitu serangan dari Raja layakatwang dari kerajaan
Gelanggelang pada sekitar tahun 1292. Serangan raja layakatwang tersebut
menghaneurkan kerajaan Singasari.
Raja Kertanegara beserta pengikutnya dibunuh. Diduga karena masa
kehancuran itulah, maka Candi Singosari tidak terselesaikan dan akhimya
terbengkalai. Ketidak selesaian bangunan eandi ini bermanfaat bagi yang
ingin mengetahui teknik pembuatan omamen (hiasan) candi.
Tampakbahwahiasanitudikerjakandariatas ke bawah. Bagian atas dikerjakan
dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai
sedangkan bagian bawah sarna sekali belum diselesaikan.
Di halaman Candi Singosari masih terdapat beberapa arca yang tersisa.
Beberapa diantaranya berupa tubuh dewa/dewi meskipun bisa dibilang
tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki
bagian kepala yang terlihat “aneh”. Tampaknya bagian tersebut bukan
merupakan kepala arca yang sebenamya. Karena kepala arca yang sebenamya
diduga putus dan tidak ditemukan kembali. Di lapangan ditemukan sebuah
prasasti berangka tahun 1351 M. Dari tulisan dalam prasasti ini para
ahli sejarah menyimpulkan bahwa Candi Singosari erat dihubungkan dengan
raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari.
Bangunan ini kemungkinan didirikan bersamaan dengan upaeara sraddha, sebuah
upaeara untuk memperingati 12 tahun sesudah raja wafat pada tahun 1304
M, dalam masa pemerintahan Raden Wijaya, Raja Majapahit Pertama. Catatan
lain dari Kakawin Nagarakertagama karangan Prapanea, pupuh XLII-XLIII,
menyebutkan bahwa Raja Kertanegara adalah seorang raja yang sangat
terpandang. Dituliskan bahwa ia menguasai segala maeam ilmu pengetahuan
seperti Sadguna (ilmu ketatanegaraan), Tatwopadeso (ilmu tentang hakikat), patuh pada hukum, teguh dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan pemujaan Jina (apageh ing jinabrata), tekun berusaha dalam menjalankan
prayogakrya (ritus-ritus tantra). Ada juga yang menganggap
sebagai makam Raja Kertanegara, raja terakhir Singosari. Namun pendapat
ini diragukan banyak ahli, lebih dimungkinkan Candi Singosari merupakan
temp at pemujaan Dewa Siwa karena sistem mandala yang berkonsep eandi
Hindu dan sekaligus sebagai media pengubah dari air biasa menjadi air
suei (amerta).
Butuh Perawatan Intensif
MENILIK kisah sejarah, Candi Singosari awalnya
disebut dalam sebuah laporan kepurbakalaan 1803 oleh Nicolaus Engelhard,
Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. la melaporkan tentang reruntuhan eandi
di daerah dataran tandus di Malang. Kemudian pada 1901, Komisi
Arkeologi Belanda melakukan penelitian ulang dan penggalian. Berikutnya
di 1934, Oepartemen Survey Arkeologi Hindia Belanda Timur merestorasi
bangunan ini hingga selesainya pada 1937. Saat ini banyak arca-arca
dari reruntuhan Candi Singosari disimpan di Museum Leiden Belanda.
Candi Singosari bersifat eampuran Siwa-Budha. Ini tidak mengherankan
mengingat agama yang dianut Kertanegara merupakan campuran Siwa; dan
Budha, bercorak Tantra. Brangkali bangunan itu antara lain memuat arca
Brahma dan beberapa area keeil yang terdapat pada lapangan percandian.
“Candi umat Hindu ini selalu ramai dikunjungi wisatawan pada hari
libur. Sedangkan wisatawan asing lebih sering datang pada Agustus,
September dan Oktober. Kebanyakan wisatawan asing yang datang ke sini
merupakan rangkaian wisata ke pulau Jawa-Bali,” kata Suwondo, juru kunci
yang sudah mengabdi sekitar 50 tahun. Kondisi bangunan yang berdiri
sejak tahun 1292 ini terlihat kokoh, namun j ika diperhatikan dari dekat
bangunan sedikit tidak terawat. Tak hanya bangunan eandinya, fasilitas
pendukung eandi juga kurang bagus. “Bangunan eandi ini bagus, saying
tidak terawat dengan baik. Di Jerman bangunan yang sudah hampir punah
mendapatkan perawatan ekstra, sedangkan di sini seperti tidak terawat,”
ujar Jorg Burne, turis Jerman melalui pemandu wisatanya.
Bahkan , rombongan wisata yang akan melanjutkan perjalan ke Bromo itu
mengeluhkan fasilitas pendukung yang ada di kompleks candi. ‘Tidak
ada papan informasi mengenai candi ini, dan juga toilet yang tidak
standart bagi para wisatawan ,” keluh Bule ini. Menurutnya, obyek
wisata yang satu
Ini perlu dikembangkan perawatannya. Ada juga jalan setapak yang akan
menuju Candi Singosari, jika sesudah hujan mengguyur terlihat becek
sehingga akan menyulitkan wisatawan. Setiap bulannya kunjungan
orang mencapai 200 orang. Tak jarang wisatawan dari luar negeri
merasakan kekaguman yang lebih terhadap peninggalan tersebut.
25 Januari 2013
Candi Seto Peninggalan Brawijaya
Candi
bukanlah suatu hal yang langka bagi bangsa Indonesia, apalagi di Pulau
Jawa ini. Berpuluh candi terdapat di sini. Sebut saja yang besar-besar
seperti, Candi Borobudur, Prambanan, Mendut dan Pawon.
Setiap wisatawan, baik manca maupun lokal tentu hafal dengan nama-nama candi di atas. Tapi, adakah mereka juga tahu bahwa selain candi-candi besar tersebut, banyak pula terdapat candi-candi yang tak semegah Candi Borobudur atau Prambanan, namun memiliki keindahan dan sejarah yang tak kalah menarik.
Salah satunya adalah Candi Seto. Candi yang terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang.
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Seto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong.
Untuk menuju candi ini perjalanan dimulai dari Kota Solo, Jawa Tengah. Dari kota batik ini kita menggunakan bus ke jurusan Tawangmangu dan turun di Karangpandan. Route ini memakan biaya Rp 3.000,00 per orang. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan colt minibus ke jurusan Pasar Kemuning, dan dikenakan biaya Rp 1.500,00 per orang. Perjalanan menuju Pasar Kemuning ini mengingatkan kita akan jalur Bogor-Cianjur, karena menanjak dengan jalur yang berliku-liku. Sementara udaranya pun tak kalah sejuknya dengan udara di Puncak Pass.
Dari Pasar Kemuning inilah perjalanan baru menemui permasalahan. Untuk menuju lokasi candi yang masih berjarak sekitar 10 kilometer tak ada angkutan umum yang mau menuju ke sana. Ini disebabkan karena kondisi jalan yang betul-betul membutuhkan ketrampilan ekstra dari pengemudi. Karena selain tanjakan-tanjakan yang curam, di kanan-kiri jalan menganga jurang yang dalam. Ditambah lagi cuaca yang selalu berkabut sehingga kerap menghalangi pandangan. Oleh karena itu, jarang pengemudi yang berani mengambil jalur ini.
Namun demikian, para pelancong tak perlu cemas. Di Pasar Kemuning banyak berderet pengojek yang siap mengantarkan wisatawan ke lokasi candi. Tarifnya berkisar antara Rp 5.000,00 – Rp 10.000,00, tergantung kemampuan kita bernegosiasi, untuk sekali jalan. Selain itu, sebuah kendaraan diesel Isuzu milik Kepala Desa setempat juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut para pelancong. Sampai lokasi untuk sekali jalan dikenakan tarif sebesar Rp 20.000,00, tak peduli berapapun banyak muatannya.
Perjalanan yang penuh tantangan pun mulai terasa tatkala mobil bergerak dari Pasar Kemuning. Belum lagi berjalan jauh, mesin mobil sudah mulai mengeram. Tanjakan-tanjakan tajam sudah harus didaki, ditambah tikungan-tikungannya yang tajam. Namun demikian, rasa ngeri akan berkurang setelah melihat pemandangan yang terpampang. Kendaraan meliuk-liuk di sela-sela pepohonan teh. Tak jarang kita pun dapat melihat sebuah perkampungan dengan deretan rumah-rumah di bawah sana. Belum lagi udaranya yang betul-betul menyejukkan. Kepenatan pun akan sirna bila kita sampai di sana.
Setelah terlebih dahulu memasuki Desa Seto, kendaraan akhirnya tiba di pelataran Candi. Turun dari kendaraan kita akan segera melihat gerbang candi, yang dinamakan sebagai Gapura Bentar, artinya Gapura Belah. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majpahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air.
Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan. Di sini pengunjung diharuskan mencatatkan diri dan dikenakan biaya masuk berupa sumbangan secara sukarela. Pada papan nama candi tertera; Dilindungi UU Peninggalan Sejarah dan Purbakala berdasarkan: Monumenten Ordanantie, No. 238/1931.
Menurut Bapak Soetjipto, sang juru kunci, untuk mencapai puncak candi harus melewati 12 undakan (pelataran). Setiap menuju atau memasuki pelataran selalu melalui gerbang-gerbang kecil yang bentuknya satu sama lain sama, yakni berupa gapura belah tadi. Menurut kepercayaan semakin ke atas maka semakin tinggi tingkat kesucian dari tempat tersebut.
Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan.
Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.
Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.
Selain sebagai tempat wisata budaya, lokasi candi ini juga dimanfaatkan untuk areal perkemahan. Saat-saat musim liburan sekolah areal hutan pinus pun akan penuh dengan tenda-tenda. Anak-anak sekolah mengisi liburannya dengan berkemah di sini. Di samping itu, Candi Seto juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai tujuan berziarah. Pada hari-hari tertentu, terutama pada hari-hari Raya Hindu atau tiap tanggal 1 Suro sering diadakan upacara keagamaan. Karena memang penduduk di sekitar candi ini kebanyakan menganut agama Hindu. Sedang untuk para peziarah ramai berdatangan pada hari Selasa Kliwon dan Rabu Kliwon. Mereka biasanya berkumpul di bangsal-bangsal yang terdapat pada undakan ke tujuh dan ke delapan.
Setiap wisatawan, baik manca maupun lokal tentu hafal dengan nama-nama candi di atas. Tapi, adakah mereka juga tahu bahwa selain candi-candi besar tersebut, banyak pula terdapat candi-candi yang tak semegah Candi Borobudur atau Prambanan, namun memiliki keindahan dan sejarah yang tak kalah menarik.
Salah satunya adalah Candi Seto. Candi yang terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang.
Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Seto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong.
Untuk menuju candi ini perjalanan dimulai dari Kota Solo, Jawa Tengah. Dari kota batik ini kita menggunakan bus ke jurusan Tawangmangu dan turun di Karangpandan. Route ini memakan biaya Rp 3.000,00 per orang. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan colt minibus ke jurusan Pasar Kemuning, dan dikenakan biaya Rp 1.500,00 per orang. Perjalanan menuju Pasar Kemuning ini mengingatkan kita akan jalur Bogor-Cianjur, karena menanjak dengan jalur yang berliku-liku. Sementara udaranya pun tak kalah sejuknya dengan udara di Puncak Pass.
Dari Pasar Kemuning inilah perjalanan baru menemui permasalahan. Untuk menuju lokasi candi yang masih berjarak sekitar 10 kilometer tak ada angkutan umum yang mau menuju ke sana. Ini disebabkan karena kondisi jalan yang betul-betul membutuhkan ketrampilan ekstra dari pengemudi. Karena selain tanjakan-tanjakan yang curam, di kanan-kiri jalan menganga jurang yang dalam. Ditambah lagi cuaca yang selalu berkabut sehingga kerap menghalangi pandangan. Oleh karena itu, jarang pengemudi yang berani mengambil jalur ini.
Namun demikian, para pelancong tak perlu cemas. Di Pasar Kemuning banyak berderet pengojek yang siap mengantarkan wisatawan ke lokasi candi. Tarifnya berkisar antara Rp 5.000,00 – Rp 10.000,00, tergantung kemampuan kita bernegosiasi, untuk sekali jalan. Selain itu, sebuah kendaraan diesel Isuzu milik Kepala Desa setempat juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut para pelancong. Sampai lokasi untuk sekali jalan dikenakan tarif sebesar Rp 20.000,00, tak peduli berapapun banyak muatannya.
Perjalanan yang penuh tantangan pun mulai terasa tatkala mobil bergerak dari Pasar Kemuning. Belum lagi berjalan jauh, mesin mobil sudah mulai mengeram. Tanjakan-tanjakan tajam sudah harus didaki, ditambah tikungan-tikungannya yang tajam. Namun demikian, rasa ngeri akan berkurang setelah melihat pemandangan yang terpampang. Kendaraan meliuk-liuk di sela-sela pepohonan teh. Tak jarang kita pun dapat melihat sebuah perkampungan dengan deretan rumah-rumah di bawah sana. Belum lagi udaranya yang betul-betul menyejukkan. Kepenatan pun akan sirna bila kita sampai di sana.
Setelah terlebih dahulu memasuki Desa Seto, kendaraan akhirnya tiba di pelataran Candi. Turun dari kendaraan kita akan segera melihat gerbang candi, yang dinamakan sebagai Gapura Bentar, artinya Gapura Belah. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majpahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air.
Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan. Di sini pengunjung diharuskan mencatatkan diri dan dikenakan biaya masuk berupa sumbangan secara sukarela. Pada papan nama candi tertera; Dilindungi UU Peninggalan Sejarah dan Purbakala berdasarkan: Monumenten Ordanantie, No. 238/1931.
Menurut Bapak Soetjipto, sang juru kunci, untuk mencapai puncak candi harus melewati 12 undakan (pelataran). Setiap menuju atau memasuki pelataran selalu melalui gerbang-gerbang kecil yang bentuknya satu sama lain sama, yakni berupa gapura belah tadi. Menurut kepercayaan semakin ke atas maka semakin tinggi tingkat kesucian dari tempat tersebut.
Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan.
Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.
Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.
Selain sebagai tempat wisata budaya, lokasi candi ini juga dimanfaatkan untuk areal perkemahan. Saat-saat musim liburan sekolah areal hutan pinus pun akan penuh dengan tenda-tenda. Anak-anak sekolah mengisi liburannya dengan berkemah di sini. Di samping itu, Candi Seto juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai tujuan berziarah. Pada hari-hari tertentu, terutama pada hari-hari Raya Hindu atau tiap tanggal 1 Suro sering diadakan upacara keagamaan. Karena memang penduduk di sekitar candi ini kebanyakan menganut agama Hindu. Sedang untuk para peziarah ramai berdatangan pada hari Selasa Kliwon dan Rabu Kliwon. Mereka biasanya berkumpul di bangsal-bangsal yang terdapat pada undakan ke tujuh dan ke delapan.
Langganan:
Postingan (Atom)